P A N D E M I
Assalamu’alaikum semuanya!
Saat tulisan ini di post, artinya sudah setahun sejak kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali dideteksi (02/03/2020). Entah tidak terasa atau ingin berpura-pura tak merasakannya kita telah setahun berhasil melewatinya. Walau amat besar harapan di tahun 2021 untuk terbebas dari kekangan COVID-19 ini, nyatanya Allah masih memberikan kita waktu untuk merenungi dosa apa yang telah diperbuat hingga Allah berikan wabah ini.
Sabtu (14/03/2020). Satu tahun silam aku sedang sibuk dalam suatu kepanitiaan di kampus. Kegiatan berjalan lancar dan tidak ada kekhawatiran sama sekali. Rilisnya berita resmi tentang kasus positif COVID-19 di Indonesia saat itu belum mengusik hati dan pikiranku sampai pada saat aku mendengar percakapan kakak tingkat di ruang tempat panitia berkumpul.
“Aku liat beritanya katanya di kecamatan kita udah ada dua orang yang positif”
“Iya, beberapa PTN juga udah ngeluarin surat pemberitahuan libur gitu”
“Eh serius? Kampus kita juga ga ya?”
“Kayaknya iya deh, tunggu aja pengumumannya”
Aku terdiam lemas, kakiku tak mampu menopang berat tubuhku, membuatku terduduk di kursi yang berada di sampingku. Seketika aku diam memperhatikan bayangan yang muncul dalam benakku. Muncul kekhawatiran yang besar tentang bagaimana kondisi kedua orang tuaku. Untuk pertama kalinya aku takut pada pikiranku sendiri. Overthingking, begitu orang menyebutnya. Pikiranku terhubung dengan cepat menyatukan klip film train to busan bak jaringan 5G. Entah apa yang membuatku begitu khawatir hingga yang terbayang adalah film yang pernah aku tonton bersama ibuku dua tahun silam. Beruntung lamunan menyeramkan itu seketika berhenti saat seseorang menepuk pundak ku.
“Yuk pulang” ajak Naya menyadarkan lamunan ku.
Naya adalah salah satu teman kos ku. Dalam perjalanan pulang menuju kos aku menanyakan banyak hal padanya termasuk pendapatnya mengenai kebijakan apa yang kira-kira dikeluarkan oleh kampus terkait munculnya pandemi COVID-19, mengingat sebentar lagi akan diadakan ujian tengah semester (UTS). Beruntuglah Naya sudah terbiasa dengan sikapku yang banyak bicara, jadi Ia dengan sabar menjawab pertanyaan ku satu per satu. Saat itu aku berusaha mengembalikan energiku untuk menjadi Nasya yang ceria, berusaha menyingkirkan segala pikiran buruk yang mengganggu. aku yakin semua akan baik-baik saja begitu ucapku dalam hati. Kabar mengenai pandemi COVID-19 membuat kami berpikir untuk membeli beberapa stok bahan makanan untuk seminggu kedepan, tujuannya agar kami tidak terlalu sering keluar kost. Tidak lupa kami mampir ke apotek untuk membeli masker dan juga hand sanitizer. Betapa terkejutnya kami saat melihat semua pintu apotek terdekat telah bertuliskan masker dan hand sanitizer HABIS. Yah kalah cepat, pikirku. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke kost dengan membawa satu kantong belanjaan.
Tak lama setelah kami tiba di kos kami menerima sebuah e-mail dari kampus.
“Sya, kamu pulang?”
Saat itu juga semua penghuni kost mempersiapkan diri untuk kembali ke kampung halaman. Ada yang berpikir untuk tinggal di kost saja karena PJJ (perkuliahan jarak jauh) hanya dua minggu, ada juga yang tanpa pikir panjang langsung memutuskan membeli tiket untuk pulang ke kampung halaman. Dan aku adalah yang bimbang antara keduanya. Pada awalnya aku dan Naya memutuskan untuk tinggal di kost saja. Toh hanya dua minggu, begitu pikir kami. Namun pada akhirnya kami tau bahwa semua penghuni kost memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dengan asumsi PJJ ini akan lebih dari dua minggu. Di saat semua orang sudah memutuskan untuk pulang, aku dan Naya baru menelpon orang tua kami untuk menanyakan apa yang sebaiknya kami lakukan.
Singkat cerita ayahku mengatakan lebih baik untuk tinggal di kost karena hanya dua minggu. Saat itu bohong jika ku bilang aku tak sedih. Aku mencoba tetap kuat atas keputusan orang tuaku. Lalu Naya memberiku kabar bahwa dirinya akan pulang lusa pagi. Artinya hanya akan ada aku di kost-an ini. Pikiranku semakin kalut. Aku memutuskan untuk kembali menelpon kedua orang tuaku, kali ini juga dengan kakakku karena aku dan kakakku berada dalam satu kampus.
“bu, semua teman kos ku akan pulang besok. Naya juga akan pulang lusa. Jadi aku akan sendirian di sini” kataku memulai pembicaraan.
Terjadilah diskusi panjang yang keputusannya belum jelas menurutku. Saat itu kakakku mengatakan untuk tidak usah pulang saja, lagi lagi alasannnya karena hanya dua minggu. Padahal semua orang sudah berasumsi bahwa dua minggu ini akan diperpanjang.
Pesan masuk - Rima
“Sya gimana?”
“Rim, kalau kamu mau pulang, pulang aja, jangan nunggu aku.
Aku baru aja nelpon orang tuaku dan sampai sekarang
belum ada keputusan”
“Aku takut sendirian di kost”
“Phia gimana?”
“Ya kamu tau sendiri kan dia bisa tiba-tiba aja pulang
tanpa ngasih kabar”
Aku tidak tau harus bagaimana membalas pesan Rima. Rima dan Phia berasal dari daerah yang sama denganku. Rima berharap aku bisa pulang bersamanya, Ia khawatir jika terlambat mengambil keputusan, bandara bisa saja berhenti beroperasi untuk sementara. Dan lagi-lagi saat aku masih di tengah ketidakpastian, Rima memberiku kabar.
Pesan masuk - Rima
“Sya besok aku pulang”
“hati-hati di jalan ya Rim”
“Naya pulang juga?”
“iya, lusa Naya pulang”
“Kamu serius mau di kosan aja?”
“kayaknya sih gitu Rim, gak mungkin dong aku pulang
kakakku engga. Doain yang terbaik aja ya”
“iya tapi kalau ada apa-apa kabarin ya”
Minggu (15/03/2020). Rima selalu memberiku kabar, saat ia berangkat hingga tiba dengan selamat. Alhamdulillah, aku lega Rima telah sampai dengan selamat. Pagi itu aku membuat sarapan, mencuci pakaian dan membereskan kamar seperti yang biasa ku lakukan di hari minggu. Keadaan grup wahtsapp masih ramai dengan topik yang sama “gimana? Jadinya pulang gak?”. Aku sempat lelah dengan pertanyaan itu. Aku tau maksud teman-temanku yang khawatir padaku. Tapi pertanyaan itu berkali-kali mengingatkanku bahwa aku akan sendirian di sini. Sebenarnya di hari minggu ini aku, Naya dan Rima berencana untuk menghadiri sebuah kajian di masjid Istiqlal sekaligus jalan-jalan mengeksplore kota Jakarta, namun Allah berkehendak lain. Semua tempat wisata telah ditutup karena adanya pandemi.
Malam itu aku dan Naya berencana untuk mengerjakan suatu proyek kecil-kecilan, siapa sangka perencanaan proyek ini berujung ngobrol panjang lebar hingga larut malam. Pukul 11 malam, sunyi senyap kosan ini tergantikan dengan gaduh kami berdua. Mulai dari merancang tema proyek kami, membuat judul, menentukan konsep, hingga berujung pada cerita yang absurd. Ditengah obrolan hp ku berdering, rupanya ada pesan masuk dari Ibu.
Pesan masuk - Ibu
“/mengirim file/”
“huaaaa makasihhh ibukuu<3”
“makasihnya ke ayah de”
“iyaa sampaikan juga makasih
untuk ayahku tercintaa”
“iya de, mulai beres-beres ya”
“siaapppp buuu”
Yup. Ibuku mengirimkan sebuah tiket pesawat. Malam itu rasanya senang sekali karena akhirnya tak lama lagi akan melepas rindu dengan kedua orang tua ku dan yeah my annoying little brother hahaha.
“cieee akhirnya pulang juga” goda Naya
“iyaa Nayyy, aku seneng banget”
“aku udah duga sih, gak mungkin lah orang tua kamu tega kalau tau anaknya sendirian di kost”
“makasih Nay udah nemenin malam ini” kata ku memeluk Naya.
“apaan sih lebay. Udah siapin kopermu sana. Besok kita bareng dong ya?”
“engga Nay, pesawatku sore. Tapi kamu ada teman kan ke bandaranya?”
“ada kok tenang aja”
Malam itu aku menyiapkan tas ku dan segala isinya dengan semangat. Oh iya proyek ku dan Naya juga sudah terbentuk 30% masyaallah senangnya.
Senin(16/03/2020).
“Syaa aku pamit ya” pamit Naya senin pagi.
“iyaa, hati-hati ya. Mudah-mudahan selamat sampai tujuan”
“Aamiin, kamu juga hati-hati ya”
“Iya insyaallah, dah Naya”
“daaahh”
Sedih? Lumayan sih soalnya di perantauan ini Naya adalah salah satu teman yang selalu bersamaku, karena selain tinggal di satu kost, kami juga kebetulan satu kelas dan satu organisasi. Pagi itu aku melanjutkan persiapanku, memastikan semuanya sudah aman dan tidak ada yang tertinggal. Kebetulan perkuliahan hari itu masih ditunda karena para dosen yang harus rapat dengan pimpinan. Singkat cerita pukul 20.32 WIB pesawat yang mengantarkan aku dan kakak ku mendarat dengan selamat, alhamdulillah. Saat keluar dari bandara mata ku langsung tertuju pada ayah, ibu dan adik ku yang telah menunggu. Aku bahkan hampir tak mengenali adik ku karena Ia sudah lebih tinggi daripada aku, padahal terakhir bertemu tingginya masih di bawah ku. Tak terasa pengalaman pertama merantau hampir delapan bulan mampu membuat celengan rindu semakin bengkak yang akhirnya bisa ku pecahkan malam itu. Perjalanan ke rumah terasa hangat dengan obrolan ringan saling menceritakan pengalaman lucu seraya melepas rindu. Aku juga dibuat kaget dengan suara adikku yang ternyata sudah lebih berat. Hahaha waktu cepat sekali berlalu.
Selasa (31/03/2020). Kami menerima e-mail-surat pemberitahuan perpanjangan masa PJJ. Saat itu entah harus senang atau sedih kerena terpaksa untuk terbiasa dengan perkuliahan online. Namun terlepas dari semua kesedihan tentu saja aku sangat bahagia karena bisa berkumpul bersama keluarga. Kapan lagi kuliah di luar pulau tanpa perlu merantau. Insyaallah bagaimana pun keadannya aku akan selalu berusaha untuk bersyukur karena aku percaya Allah adalah pemilik skenario terbaik.
Tidak terasa duduk di depan laptop menuliskan cerita flashback yang ternyata lumayan panjang juga menurutku. Terima kasih karena sudah bersedia membaca cerita ini. Semoga kita semua senantiasa menjadi hamba yang pandai bersyukur, aamiin. Jaga kesehatan ya, ingat pesan IBU, ingat 3M! memakai masker, menghindari kerumunan dan mencuci tangan. Mudah-mudahan pandemi ini segera berakhir. aamiin.
- Nasya -
Komentar
Posting Komentar