Jarak Antara Ikhlas dan Kenyataan.
Hujan berhasil memecah kesunyian malam ini, rasanya ingin keluar dan berdiam di bawah hujan, berharap segala kekesalan ikut hanyut bersama aliran air hujan. Namun saya memilih untuk menuangkan segala emosi pada halaman ini seperti yang biasa saya lakukan, walau bisa saja tulisan ini bernasib sama dengan beberapa temannya, berakhir di dalam draf.
Sabtu, 3 Juli 2021 adalah jadwal keberangkatan saya menuju suatu tempat untuk menenangkan pikiran, tempat yang selalu berhasil membuat saya kembali fresh dari segala hiruk pikuk dunia. Tentu saja saya sangat excited, bahkan membayangkan perjalanannya saja terasa sangat mendebarkan dan rasanya selalu tak sabar menantikan, meski saya tahu ia berjarak ribuan kilo meter. Tapi dengan tujuan yang menjanjikan saya tak akan keberatan dengan jarak, justru saya akan sangat menikmati perjalanannya. Setiap hari saya menyusun rencana tentang apa apa saja yang akan saya lakukan, hingga saya bertemu dengan hari selasa, 29 Juni 2021, tiba tiba saja muncul berbagai alasan yang menentang keberangkatan saya, berbagai alasan yang satu pun tak dapat saya patahkan hingga saya harus memilih untuk rela membatalkan perjalanan itu.
Ada banyak hal yang harus kembali saya pertimbangan, tentang berbagai risiko yang mengancam keselamatan orang lain. Tentu saja saya tidak bisa gegabah mengambil keputusan dengan segala ego yang saya miliki.
Beberapa hari terakhir ada saja kejadian yang memaksa saya untuk ikhlas, memaksa karena bagi saya rasa ikhlas adalah kata yang sangat ringan di lisan namun sangat butuh kekuatan untuk dilakukan, tak semudah mengucapkannya, saat saya memutuskan untuk ikhlas sering kali berbagai pikiran menentang seakan itu tak layak untuk dilakukan, seperti muncul berbagai bisikan bahwa sebenarnya saya berhak untuk menjadi egois, tak perlu selalu menjadi orang yang rela dengan segala pemikiran tentang orang lain, ada banyak godaan untuk dapat rela melepaskan.
Jarak tak hanya memisahkan tempat itu, jarak memisahkan saya dengan keluarga, teman, sababat bahkan sesuatu yang dekat kini sulit dijangkau karena suatu hal yang kita semua ketahui, satu tahun lebih kita bersama beradaptasi dengan berbagai kondisi, situasi, dan segala bentuk aturan dengan harapan bumi kembali pulih dengan segala aktivitasnya. Sirine ambulance bak suara yang menjadi akrab di telinga, bahkan kabar duka pun seperti obat yang harus kita telan hampir setiap harinya. Ada banyak hal yang perlahan berubah dan terus berubah hingga menjadi perubahan besar yang mungkin tak lagi kita rasakan karena sejak awal terpaksa untuk beradaptasi.
Di tengah keadaan, konflik, perseteruan dengan segala pro dan kontra nya. Semua orang seperti merasa benar dengan segala yang ia lakukan. Lantas siapa yang harus disalahkan? Percayalah tak ada gunanya saling menyalahkan seakan mencari kamning hitam dari segala permasalahan. Mengapa kita tidak bercermin dan memperbaiki segalanya mulai dari masing masing kita. Klasik? ya, kalimat yang sangat klasik hingga saya pun muak jika harus mendengarnya. Mengandalkan kesadaran tiap tiap manusia seperti bukan lagi sesuatu yang bisa diandalkan. Pada akhirnya kita hanya bisa menerima keadaan.
Mungkin Allah ingin saya benar benar belajar tentang arti ikhlas yang sebenarnya, bahwa segala sesuatu memang hanya titipan, termasuk sebuah rencana. Setiap saat saya memohon agar diberikan kelapangan hati menerima takdir-Nya. Berat? tentu saja. Namun bagaimana pun saya selalu percaya bahwa segala sesuatu yang Allah rencanakan jauh lebih baik dari rencana manusia, karena pada dasarnya manusia memang hanya berencana namun Allah lah yang menentukan, Apabila Allah berkehendak lain maka percayalah itu yang terbaik, dan kali ini kalimat bukan sekedar kalimat yang hanya saya tulis atau ucapkan, saya benar benar harus menelan kalimat ini hingga lekat pada diri saya.
Entah kemana arahnya tulisan ini, dan entah mengapa pula pada akhirnya saya memutuskan untuk membiarkan tulisan ini exist pada halaman beranda saya. Mungkin memang takdir-Nya ia berada di sana.
- Nasya -
Komentar
Posting Komentar