Tentang 'Kampus Impian' dan Aku Yang Tak Punya Impian.

   


    Halo! Assalamualaikum^^

    Selamat yaa untukmu yang lulus SNMPTN! Dan untuk yang belum lulus, jangan patah semangat! ini bukan akhir, tapi awal dari kemenangan. Sejak kemarin membuka sosial media masih saja ramai tentang SNMPTN. Saya mungkin tidak memiliki pengalaman menarik tentang SNMPTN, tapi sampai hari ini saya selalu ikut terbawa haru tentang kabar kelulusan teman-teman, juga hanyut dalam sedih saat tau ada yang belum lulus. Walau mungkin saya tidak tau persis bagaimana rasanya 'se senang itu" ataupun "se kecewa itu".

    Ini bukan kisah tentang seorang yang gagal SNMPTN dan SBMPTN. sebaliknya, ini tentang kelulusan SNMPTN saya. Kata orang, saya ini beruntung bisa lulus SNMPTN di salah satu kampus dengan jurusan yang saya minati, juga lulus di Universitas Islam Negeri dengan nilai rapor, dan lulus di politeknik kesehatan yang lagi-lagi dengan nilai rapor, saya bahkan tidak merasakan pedihnya perjuangan SBMPTN karena sejak awal tak ada kampus 'cadangan' yang saya impikan. Bagi sebagian orang mungkin ini memang bagian dari keberuntungan, tapi bagi saya ada satu sisi yang tidak bisa saya lihat sebagai keberuntungan, TEKAD

    Sejak SMA saya selalu bangga mendengar cerita teman-teman tentang kampus impiannya, tentang perjuangan menggapai cita-citanya, walaupun setiap tiba pada topik itu, saya selalu menjadi yang paling diam karena tidak punya 'kampus impian'. Saya selalu kagum kepada mereka yang punya tekad kuat dalam menggapai mimpi, ikut les sana sini, berangkat pagi untuk sekolah dan pulang malam karena harus datang ke beberapa tempat les demi mimpi mereka. Dari kecil saya hanya pernah sekali ikut les, itu pun hanya hadir dua kali karena saya merasa tidak cocok dengan metode belajarnya.

    Saat kakak saya duduk di bangku SMA kelas 12 saya sudah melihat bagaimana Ia meraih berbagai ajang olimpiade fisika yang sebenarnya Ia mulai sejak kelas 10, saya melihat bagaimana Ia memiliki keinginan kuat untuk masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri) impiannya, bahkan ketika Ibu saya menyarankan untuk masuk salah satu PTK (Perguruan Tinggi Kedinasan), Ia memilih untuk tetap pada perjuangannya mendapatkan kampus impiannya, saat itu Ia mengaku hanya gengsi jika tidak masuk kampus ternama, ya GENGSI. Namun gengsi tidak membawanya pada kampus impiannya, Allah berkata lain. Ia tidak lulus SNMPTN pun SBMPTN. Dan benar saja bahwa Allah jauh lebih mengetahui apa yang dibutuhkan hambanya, Allah akan memberikan sesuatu yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan dan percayalah sesuatu itu akan datang tepat pada waktunya. Singkat cerita kakak saya lulus di sebuah PTK yang disarankan Ibu saya, Alhamdulillah berkurang sedikit beban orang tua kami karena tidak perlu membayar uang kuliah.

    Memasuki kelas 12, hampir setiap hari telinga saya tidak terlepas dari pembiacaraan 'kampus impian'. Bukan saya tidak suka, hanya saja saya selalu bertanya pada diri sendiri sebenarnya saya ini ingin melanjutkan kemana?, berbeda dengan teman-teman lain yang bahkan merencanakan pendidikan tinggi mereka sejak awal masuk SMA, saya yang sudah berada di kelas 12 SMA masih tidak tau mau melanjutkan kemana. Orang tua saya selalu bertanya dek nanti mau lanjut kemana? Jangan jauh-jauh ya begitu kata Ibu. Permintaannya hanya sederhana, jangan jauh-jauh ya. Saya paham betul bahwa orang tua saya hanya tak ingin jauh dari anak perempuan satu-satunya ini. Ayah dan Ibu saya hanya khawatir, dan sebenarnya orang tua saya bukan tipe yang memaksakan keinginan mereka pada anaknya, hanya saja ketika mereka menanyakan apa keinginan saya, saya belum bisa menjawabnya. Suatu saat Ayah saya melihat saya di meja belajar dengan beberapa desain pakaian yang iseng saya buat, lalu Ayah saya bertanya kenapa tak jadi perancang busana saja? gambarmu bagus. Setelah itu bukan saya tak tertarik, hanya saja semakin saya mencari tau tentang itu semakin hilang keinginan saya untuk berada di sana. Dua hari berikutnya Ayah kembali melihat saya di meja belajar, kali ini dengan gambar rancangan rumah impian saya, lalu ayah saya kembali bertanya oooooh mau masuk arsitek ya? kamu kan suka gambar, kebetulan ikut olimpiade fisika juga, cocok dong begitu katanya dan lagi-lagi saya tidak tertarik ke arah sana, terlebih keikutsertaan saya dalam olimpiade fisika bukanlah kareana minat saya, hanya seperti sebuah 'tuntutan' yang tak bisa dielak. Entah sejak kapan saya seperti terbiasa menuntut diri sendri walau tak sesuai dengan kegemaran saya.

    Awal semester genap di akhir masa SMA saya dimulai. Saat itu adalah masa sibuk setiap anak kelas 12, karena harus mempersiapakan try out, ujian nasional, SNMPTN, dan SBMPTN. Dan keadaan masih sama, untuk menjawab pertanyaan mau lanjut kemana? saya hanya perlu menyebutkan dua nama kampus yang dekat dari rumah, karena saya rasa memang tidak ada pilihan lain. Orang tua saya mulai khawatir dengan anak gadisnya yang masih belum tau keinginannya harus melanjutkan kemana, sampai pada akhirnya Ibu saya memberikan saran untuk masuk PTK yang sama dengan kakak saya, beliau tak lagi khawatir mengizinkan anak gadisnya merantau, jelas saja karena ada kakak saya di sana. Saran yang diberikan Ibu mulai saya pikirkan, saya mulai mencari tau tentang kampus kedinasan itu. Di saat yang bersamaan, walau Ayah saya bukan tipe yang akan blak blakan mengatakan sayang pada anaknya, rupanya beliau juga menyadari bahwa saya masih belum yakin dengan opsi yang ada, hingga Ayah juga membantu memberikan saran untuk mengambil jurusan kebidanan, katanya pekerjaan itu cocok untuk saya, karena bisa bekerja di rumah dengan membuka praktik dan yang paling penting bisa membantu orang banyak. Walaupun belum timbul ketertarikan hati saya pada salah satu di antaranya, saya memilih untuk mengikuti semua. Alhamdulillah seperti yang sudah saya sebutkan di awal bahwa saya lulus di tiga kampus, tapi hati saya belum terpaut pada satu pun di antara ketiganya. Di sini lah sisi buruknya, saya iri dengan mereka yang punya tekad kuat, punya cita-cita, punya mimpi, punya keinginan kuat menggapai segala keinginan. Sedangkan saya, keinginan sendiri saja bahkan tidak tau, payah

    Setelah pengumuman kelulusan tersebut masih ada satu yang harus saya lakukan. Saya masih mengikuti tahap demi tahap ujian masuk Perguruan Tinggi Kedinasan, apakah saya minat di sana? tentu saja minat itu belum hadir dalam hati saya, saya hanya mengikuti saran orang tua, bukan karena terpaksa tapi karena memang tidak tau harus kemana. Ini adalah satu-satunya ujian yang saya lakukan untuk menuju sebuah perguruan tinggi karena itu saya bertekad untuk serius melakukan hal ini agar saya tak lagi iri dengan orang-orang yang berjuang untuk mimpinya. Saya ingin memiliki rasa perjuangan itu, perjuangan menggapai mimpi, dan saat itu saya sadari bahwa mimpi saya adalah membahagiakan dan membuat bangga kedua oraang tua saya, karena itu saya tak pernah terpaksa memenuhi keinginan kedua orang tua saya. Lulus ujian tahap pertama, mulai lah hadir keinginan saya melanjutkan tes masuk PTK ini. Saya belajar lebih giat dan tentu saja ujian ujian selanjutnya berhasil membuat rasa gugup semakin kuat, namun hebatnya saat itu rasa bangga akan sebuah perjuangan tak kalah kuatnya. Seperti saya baru merasakan perjuangan yang menurut saya luar biasa, saya senang melakukan ini. Setiap waktu yang saya habiskan untuk mempersiapkan diri, setiap waktu saat menunggu waktu tes dan yang tak kalah penting setiap menatap layar handphone bersama kedua orang tua, menunggu hasil tes keluar. Saya menikmati semua itu. Satu motivasi saya yang tak kalah kuatnya adalah terlepas dari biaya kuliah, rasa ingin membantu kedua orang tua untuk sekedar meringankan beban, meski tak seberapa jika dibandingkan perjuangan Ayah dan Ibu aku harap ini membantu.

    Alhamdulillah saya lulus di Perguruan Tinggi Kedinasan yang sama dengan kakak saya. Rasa senang, bangga dan haru tak bisa saya jelaskan, malam itu saya menangis haru teringat tentang rasa perjuangan yang ingin saya miliki, rasanya sangat bersyukur diberikan kesempatan merasakan perjuangan ini. Merasakan indahnya saat-saat penantian dan pengorbanan.

    Teringat beberapa waktu lalu, seseorang mengatakan kepada saya kamu beruntung, sampai saat ini kampus mu masih menjadi kampus impian saya walau saya sudah berada di PTK lain yang saya yakinkan ini terbaik untuk saya. Masyaallah, malu sekali rasanya diasaat saya sering lalai dan mengeluh, padahal diluar sana masih banyak orang yang menginginkan ada di posisi saya. Berkali-kali saya diingatkan tentang rasa syukur, berkali-kali pula saya diingatkan untuk tidak pernah mengeluh, karena kita tidak tau berapa banyak orang yang memimpikan posisi kita saat ini, dan Allah takdirkan kita berada di sini.

    Saya banyak belajar, bahwa setiap manusia telah ada pada takdir Allah, tugas kita adalah bagaimana melakukan semuanya dengan sebaik-baiknya, berusaha mencari jalan bukan terdiam saat tak tau arah. Kamu yang memiliki cita-cita tinggi adalah orang yang hebat, mau berjuang demi menggapai mimpi. Percayalah tak ada perjuangan yang sia-sia selama kamu yakin bahwa rencana Allah untuk hambanya adalah yang terbaik. Di mana pun kamu, aku, kita semua berada, maka syukurilah karena kita tak akan pernah merasakan keberartian sesuatu sebelum kita kehilangan sesuatu itu. Hargailah orang-orang yang ada di sekitar kita, karena kita tak akan pernah tau kapan saat terakhir bersama mereka.



- Nasya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jarak Antara Ikhlas dan Kenyataan.